Tak jarang orang tua kelabakan dan putus asa menghadapi loncatan perkembangan bahasa anak-anaknya yang cenderung hilang rasa santunnya. Katanya kehidupan kosmopolitan memang seperti itulah. Siang dan malam hampir tidak dapat lagi dibedakan.
Tren anak sekarang, lebih akrab dengan media elektronika daripada orang tua mereka sendiri.
TOKEK BUNYI TV
Entah setelah era TV kabel nanti saat pilihan cartoon channel kian menumpuk. Setelah TV masuk ke bilik rumah panggung, tradisi mendengar beralih menjadi tradisi menonton yang monoton. Memang sekitar dekade 1980-an, sandiwara radio pernah mendominasi indra pendengaran masyarakat kita. Mereka mudah diberi pengertian dan jarang yang keras kepala. Jelang tidur, di bawah temaram lampu minyak, anak-anak diantar tidur dengan dongeng-dongeng yang memuat berbagai pesan. Waktu yang selalu menyisakan pertanyaan “Aga si carita-ta Indoq?” (Apa lagi cerita Ibu?). Selepas magrib adalah prime timenya folktale Nenek Pakande. Lebih dari itu bahasa adalah penanda budaya, cermin moral, dan media peleburan kepekaan sosial dengan realitas.ĭulu, anak-anak begitu akrab dengan neneq, latoq, amure, serta indoq dan amboq mereka. Bahasa memang bukan sekedar alat komunikasi atau hanya seperangkat bunyi-bunyi linguistik yang teratur seperti kata De Saussure, empunya linguistik. Tradisi lisan merupakan ekspresi budaya daerah yang sarat pesan moral dan daya gugah yang mampu mendekatkan orang tua dengan anak. Tapi, tradisi lisan bukan sesuatu yang primitif dan tak laik guna. Memang mata dan pikiran anak-anak kita tidak mesti tertutup untuk mengikuti irama perkembangan global. Ini tidak sederhana, perlu kajian lacak dan fundamental untuk cari tahu. Bercerita yang dulunya mengandung muatan normatif dalam tradisi lisan ‘neneq dan latoq’ kita, hingga hari ini lenyap, entah raib ke rimba budaya mana. Mendongeng menjadi jasa langka dan mahal. Mental kebahasaan mereka mengalami degradasi kosakata. Selanjutnya, mereka kian miskin sentuhan moral dan visi ideologis yang baik di balik tutur pinutur bahasa daerahnya sendiri. Akibatnya, bocah bugis Makassar banyak bereksplorasi ke dalam spasi komunitas elit yang cenderung ‘hedonis’ alias –cari enak sendiri. Sekat wilayah budaya dan tradisi berbahasa lisan, ibarat tirai sutra yang diterpa badai informasi global.ĭalam pandangan evolusi bahasa, tradisi lisan yang harusnya diimprovisasi dulu ke tradisi tulian, kini langsung melejit ke tradisi tonton-pinonton ( audio visual). Imbas teknologi elektronika sebagai fitur globalisasi nyaris tak apresiatif dan akomodatif lagi dengan sastra tutur masyarakat Bugis-Makassar.
Anak kecil yang hidup di dusun terpencil di Malino atau Mangkutana pun sudah akrab sekali dengan lakon Saras 008. Loncatan budaya masyarakat Bugis Makassar dari tradisi lisan ke elektronika memang amat spektakuler dan mengejutkan. Ironis kan? Tapi kenapa – kodong– nenek legendaris itu mesti dilupakan dalam tradisi tutur pinutur kita? Reptil yang dikisahkan selalu mengamini kebenaran, menyahuti aksi kemungkaran bernada ejekan saat bunyi tokek-tokek tepat pada hitungan ganjil. Kecuali pada sebangsa tokek yang bernama Pakkeq Canggoling-goling dan Pakkeq Pakkociq-kociq. Mitosnya, Nenek Pakande itu tidak takut pada siapa pun. Tokoh hitam yang takut mati karena senjata sinar ampuh Saras. Rekaan profil dan karakternya lebih sakti dan hebat dari Mr Black. Atau mungkin kalah bersaing dengan Nenek Lampir.īocah-bocah Bugis Makassar era TV swasta, tidak kenal lagi siapa itu Nenek Pakande. Ia tak berdaya menghadapi Saras 008 dan Panji Manusia Milenium. Kini, ia sedang sekarat, berjuang sendiri menghadapi sakratul maut. Hidupnya sejahtera dalam tradisi lisan neneq dan latoq kita. Dua puluh tahun lalu, ia masih suka memangsa manusia, terutama anak yang hidup di pedalaman Bugis.